Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satusebab terhadap kalimat tunggal di sebagian naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[1], dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang, diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur, durma, dan khinanthi; dan diakhir naskah ini ditutup dengan tembang kasmaran.
Kelima jenis tembang yang digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.
Secara jujur kami akui, NBG yang ada pada kami memang belum tamat dan masih belum tuntas pembahasannya, entah berapa naskah lagi kelanjutannya. Akan tetapi, dari satu naskah ini, kita sudah dapat menangkap ide, gagasan, gambaran prilaku, dan ajaran luhur yang merupakan potret budaya Cirebon yang berkembang pesat pada saat itu. Penekanan pengajaran suluk (tasawuf dalam bentuk tembang) yang bertitik berat pada penamsilan yang begitu nyata mendomonasi naskah ini. Dengan kata lain, penggunaan bahasa ibarat seperti lir, lirpenda, lirkadiya dan terkadang figurative, sangat menyentuh hati dan membuat kita terhanyut dihempasan ombak sastranya. Oleh karena itulah, dibagian lampiran buku ini kami tampilkan NBG dengan tanpa terjemahan dan tafsiran, agar pembaca dapat menikmati alunan kata demi kata yang tersusun dalam NBG secara puitis, bahkan jika kita mau lebih terbuka, dominasi bahasa ibarat yang dipakai NBG menuntun kita ke dalam kesadaran berbahasa yang halus dan indah.
Tentunya penulis NBG, yang hingga saat ini belum kami ketahui, hendak mengajari kita (masyarakat Cirebon khususnya) tentang suluk Cirebon dari segi kalimat dan makna, sehingga warna makna atau prilaku yang dapat dipahami dari NBG mengungkapkan hal-hal yang bernuansa spiritual dan tasawuf. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah semua prilaku yang digambarkan oleh NBG tak lepas daripada Cirebon sebagai ruang gerak penulisnya. Didamping itu, keterbatasan referensi yang ada atau kurangnya pengetahuan penulis NBG terhadap al-Quran dan Hadits terasa sekali. Namun demikian, semangat ‘bersuluk’ tampaknya cukup kuat dikalangan Islam Cirebon pada saat itu, sehingga NBG-terlepas dari kekurangan dan kelebihannya-menjadi naskah suluk yang khas ala Cirebon. Gagasan dan pemikiran yang tertuang dalam NBG sudah dianggap cukup kuat dan dapat menjelaskan konsep wahdatul wujud yang tumbuh dalam pemikiran tasawuf Timur Tengah menjadi manunggal ala Cirebon yang bisa dipahami berbeda dengan konsep dengan manunggal versi asalnya atau bahkan versi Siti Jenar. Manunggal versi Siti Jenar memang photo copy dari asalnya dengan kertas (bahasa) Jawa yang pada saat itu masyarakatnya masih kuat oleh pengaruh-pengaruh Hindu dalam peristilahan ajaran prinsip ketuhanan. Sehingga muncul anggapan bahwa Islam dan Hindu-Budha sebenarnya sama dalam memandang Tuhannya. NBG memilih jalan yang tergolong sederhana dan dapat dicerna oleh kalangan umum, sehingga kebingungan orang tentang persamaan Islam dan Hindu dalam memandang Tuhannya, dalam konsep menunggal, tak terjadi dalam pengajaran NBG.
[1]Tembang Macapat merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon, Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat berarti membaca empat-empat, maca papat-papat. Membacasecara empat wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu. Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon, terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm. 116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.
Rokhmin Dahuri dkk. dalam Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon (BBSAC ), telah menguraikan sebagian dari Naskah Bujang Genjong (NBG). Dalam uraiannya, ajaran manunggal telah disinggung, bahkan Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga dan jiwa yang selalu saling merindu[1]; merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[2], untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat kuat. Dan apalagi jika kedua tokoh ini hanya semata-mata dipandang sebagai muda-mudi yang sedang menjalin asmara (lihat dalam pupuh Kasmaran, Pupuh ke 10-15).
Penggambaran atau dalam istilah NBG sendiri disebut pewayangan, wayang amot wawayangan, merupakan cara yang paling aman dalam mengurai, menjabarkan, dan menjelaskan kerumitan yang ada, yang tidak mampu diurai dengan kalimat indah. Karena itulah, hal yang sangat tidak logis jika tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dianggap sebagai sebuah nama tanpa maksud, arti, dan tujuan. Dengan melihat arti kata Bujang Genjong, Rara Gonjeng, dan Bujang Lamong, yang secara bahasa yang saling berdekatan maknanya, kita sudah merasakan kesengajaan dari Bujangga[3] NBG untuk memberikan sandi-sandi atau simbol-simbol dari suatu alur pemikiran yang mengarah pada tujuan tertentu. Dan ketika kita mengganggap bahwa nama-nama disusun secara sengaja, maka timbul pertanyaan yang kedua; apa maksudnya? Dengan pijakan seperti inilah kekayaan lokal Cirebon, khususnya NBG, mendapatkan posisi yang layak.
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula dengan gusti, bisa meloncat naik ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon, dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya membekali diri dengan empat ilmu (syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat) dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[4].
[1]Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon hlm. 225,226. Perum Percetakan Negara RI 2004.
[2]Al Ghazali dalam Ihya III hlm. 17 berkata, Hati manusia itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari seluruh hewan.
[3]Kalimat Bujangga di pinjam untuk menjadi istilah bagi penulis tembang macapat agar pembahasan dan kalimat menjadi simpel