Powered By Blogger

Sabtu, 17 Desember 2011

Suluk Bujang Genjong


Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu  sebab terhadap kalimat tunggal di sebagian naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[1], dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang, diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur, durma, dan khinanthi; dan diakhir naskah ini ditutup dengan tembang kasmaran.
Kelima jenis tembang yang digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.
Secara jujur kami akui, NBG yang ada pada kami memang belum tamat dan masih belum tuntas pembahasannya, entah berapa naskah lagi kelanjutannya. Akan tetapi, dari satu naskah ini, kita sudah dapat menangkap ide, gagasan, gambaran prilaku, dan ajaran luhur yang merupakan potret budaya Cirebon yang berkembang pesat pada saat itu. Penekanan pengajaran suluk (tasawuf dalam bentuk tembang) yang bertitik berat pada penamsilan yang begitu nyata mendomonasi naskah ini. Dengan kata lain, penggunaan bahasa ibarat seperti lir, lirpenda, lirkadiya dan terkadang figurative, sangat menyentuh hati dan membuat kita terhanyut dihempasan ombak sastranya. Oleh karena itulah, dibagian lampiran buku ini kami tampilkan NBG dengan tanpa terjemahan dan tafsiran, agar pembaca dapat menikmati alunan kata demi kata yang tersusun dalam NBG secara puitis, bahkan jika kita mau lebih terbuka, dominasi bahasa ibarat yang dipakai NBG menuntun kita ke dalam kesadaran berbahasa yang halus dan indah.
Tentunya penulis NBG, yang hingga saat ini belum kami ketahui, hendak mengajari kita (masyarakat Cirebon khususnya) tentang suluk Cirebon dari segi kalimat dan makna, sehingga warna makna atau prilaku yang dapat dipahami dari NBG mengungkapkan hal-hal yang bernuansa spiritual dan tasawuf. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah semua prilaku yang digambarkan oleh NBG tak lepas daripada Cirebon sebagai ruang gerak penulisnya. Didamping itu, keterbatasan referensi yang ada atau kurangnya pengetahuan penulis NBG terhadap al-Quran dan Hadits terasa sekali. Namun demikian, semangat ‘bersuluk’ tampaknya cukup kuat dikalangan Islam Cirebon pada saat itu, sehingga NBG-terlepas dari kekurangan dan kelebihannya-menjadi naskah suluk yang khas ala Cirebon. Gagasan dan pemikiran yang tertuang dalam NBG sudah dianggap cukup kuat dan dapat menjelaskan konsep wahdatul wujud yang tumbuh dalam pemikiran tasawuf Timur Tengah menjadi manunggal ala Cirebon yang bisa dipahami berbeda dengan konsep dengan manunggal versi asalnya atau bahkan versi Siti Jenar. Manunggal versi Siti Jenar memang photo copy dari asalnya dengan kertas (bahasa) Jawa yang pada saat itu masyarakatnya masih kuat oleh pengaruh-pengaruh Hindu dalam peristilahan ajaran prinsip ketuhanan. Sehingga muncul anggapan bahwa Islam dan Hindu-Budha sebenarnya sama dalam memandang Tuhannya. NBG memilih jalan yang tergolong sederhana dan dapat dicerna oleh kalangan umum, sehingga kebingungan orang tentang persamaan Islam dan Hindu dalam memandang Tuhannya, dalam konsep menunggal, tak terjadi dalam pengajaran NBG.


[1] Tembang Macapat merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon, Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat berarti membaca empat-empat, maca papat-papat. Membaca secara empat wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu. Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon,  terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm. 116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar