Powered By Blogger

Sabtu, 17 Desember 2011

Sekilas Suluk Cirebon


Rokhmin Dahuri dkk. dalam Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon (BBSAC ), telah menguraikan sebagian dari Naskah Bujang Genjong (NBG). Dalam uraiannya, ajaran manunggal telah disinggung, bahkan Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga dan jiwa yang selalu saling merindu[1]; merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[2], untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat kuat. Dan apalagi jika kedua tokoh ini hanya semata-mata dipandang sebagai muda-mudi yang sedang menjalin asmara (lihat dalam pupuh Kasmaran, Pupuh ke 10-15).
Penggambaran atau dalam istilah NBG sendiri disebut pewayangan, wayang amot wawayangan, merupakan cara yang paling aman dalam mengurai, menjabarkan, dan menjelaskan kerumitan yang ada, yang tidak mampu diurai dengan kalimat indah. Karena itulah, hal yang sangat tidak logis jika tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dianggap sebagai sebuah nama tanpa maksud, arti, dan tujuan. Dengan melihat arti kata Bujang Genjong, Rara Gonjeng, dan Bujang Lamong, yang secara bahasa yang saling berdekatan maknanya, kita sudah merasakan kesengajaan dari Bujangga[3] NBG untuk memberikan sandi-sandi atau simbol-simbol dari suatu alur pemikiran yang mengarah pada tujuan tertentu. Dan ketika kita mengganggap bahwa nama-nama disusun secara sengaja, maka timbul pertanyaan yang kedua; apa maksudnya? Dengan pijakan seperti inilah kekayaan lokal Cirebon, khususnya NBG, mendapatkan posisi yang layak.
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula dengan gusti, bisa meloncat naik ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon, dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya membekali diri dengan empat ilmu (syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat) dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[4].


[1] Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon hlm. 225,226. Perum Percetakan Negara RI 2004.
[2] Al Ghazali dalam Ihya III hlm. 17 berkata, Hati manusia itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari seluruh hewan.
[3] Kalimat Bujangga di pinjam untuk menjadi istilah bagi penulis tembang macapat agar pembahasan dan kalimat menjadi simpel
[4] Budaya Bahari, hlm. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar